MENGENAI UTANG LUAR
NEGERI PEMERINTAH
Ditjen Pengelolaan
Utang Negara melaporkan apabila total utang pemerintah di tahun 2012 ini akan
mendekati angka Rp 2.000 triliun. Cukup mengejutkan melihat besarnya kenaikan
utang luar negeri pemerintah. Tahun 2009 lalu dilaporkan sekitar Rp 1.600an
triliun atau meningkat sebanyak lebih dari Rp 300 triliun hanya dalam kurun
waktu 3 tahun. Pada tutorial perekonomian kali ini akan dibahas mengenai
pengertian utang luar negeri pemerintah Indonesia dan penggunaannya.
Pengertian dan Definisi
Utang luar negeri
merupakan jenis pinjaman yang berasal dari luar negeri dan memiliki persyaratan
tertentu yang dibebankan kepada pihak
(negara) penerima utang tersebut. Dalam pengertian anggaran negara, utang luar negeri disebut juga sebagai sumber pendanaan alternatif yang digunakan untuk pembiayaan anggaran negara. Di satu sisi, utang luar negeri dapat menjadi sumber pendanaan anggaran (APBN), akan tetapi di sisi lain menjadi beban anggaran, karena dibebankan persyaratan pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri.
(negara) penerima utang tersebut. Dalam pengertian anggaran negara, utang luar negeri disebut juga sebagai sumber pendanaan alternatif yang digunakan untuk pembiayaan anggaran negara. Di satu sisi, utang luar negeri dapat menjadi sumber pendanaan anggaran (APBN), akan tetapi di sisi lain menjadi beban anggaran, karena dibebankan persyaratan pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri.
Keputusan untuk
mengambil utang luar negeri dikarenakan keterbatasan sumber-sumber pendanaan
ataupun pembiayaan di dalam negeri. Pemerintah membutuhkan pendanaan yang cukup
besar untuk sejumlah pengeluaran yang tidak bisa hanya mengandalkan dari sumber
penerimaan dalam negeri. Misalnya, untuk keperluan penyediaan infrastruktur,
pendanaan tahap awal pelaksanaan program pembangunan, dan pendanaan dalam
negeri lainnya. Idealnya pengeluaran hendaknya menyesuaikan dengan besarnya
sumber-sumber pendanaan di dalam negeri. Namun, melihat dinamika pembangunan
dan kebutuhannya akan membuka pilihan alternatif pendanaan yang berasal dari
luar negeri berupa utang.
Disebut utang luar
negeri, karena sumber diperolehnya pinjaman bersyarat tersebut berasal dari
luar negeri. Dalam pos APBN terdapat sumber pembiayaan yang berasal dari luar
negeri maupun dari dalam negeri. Bentuk utang luar negeri dapat berupa dana
segar ataupun berupa dana yang sudah dikonversikan ke dalam bentuk program
ataupun proyek tertentu. Bentuk lain dari utang luar negeri dapat berupa
surat-surat utang atau obligasi negara. Sekalipun tergolong utang luar negeri,
akan tetapi seperti surat utang ataupun obligasi negara memiliki mekanisme
pembayaran yang berbeda dengan utang luar negeri. Itu sebabnya, dalam
pencatatan maupun pelaporannya pada APBN dipisahkan antara utang luar negeri
dan pos surat-surat berharga negara.
Utang luar negeri yang
dibahas di sini adalah utang luar negeri pemerintah. Dalam hal ini, pihak yang
menerima dan atau mengajukan utang luar negeri adalah pihak pemerintah. Selain
utang luar negeri terdapat istilah lain yang disebut utang luar negeri swasta
di mana pihak yang mengajukan adalah pihak swasta di suatu negara. Sekalipun
berbeda, akan tetapi besarnya utang luar negeri swasta ini pun harus
dikendalikan oleh pihak pemerintah.
Komponen-Komponen Dalam
Utang Luar Negeri
Sebenarnya lebih tepat
disebutkan istilah-istilah yang berhubungan dengan utang luar negeri. Seperti
halnya di dalam penganggaran atau pembukuan, jika berutang, maka akan dikenal
istilah bunga utang dan cicilan utang. Begitu pula dalam pengertian utang luar
negeri terdapat beberapa istilah yang merupakan komponen-komponen di dalam
utang luar negeri pada APBN. Beberapa komponen di dalam utang luar negeri pada
APBN terdapat pembayaran bunga utang luar negeri, penarikan pinjaman luar
negeri, dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
Setiap kali pemerintah
mendapatkan utang luar negeri, maka pencatatannya dilakukan pada pos pembiayaan
APBN, yaitu pada kelompok pos pembiayaan luar negeri. Setelah mendapatkan
persetujuan dari DPR RI, pemerintah akan mengajukan secara resmi penarikan
pinjaman dari negara lain ataupun kelompok/konsorsium tertentu untuk
mendapatkan pinjaman. Perjanjian utang yang ditandatangani meliputi besarnya
bunga utang dan besarnya pembayaran cicilan pokok utang. Keseluruhan penarikan
utang luar negeri tersebut dicatat pada APBN, yaitu pada pos penarikan pinjaman
luar negeri bruto. Ada dua macam bentuk penarikan utang luar negeri yang
dicatat dalam APBN, yaitu pinjaman dalam bentuk program dan pinajaman dalam
bentuk proyek.
Bunga utang merupakan
beban finansial yang dikenakan kepada pihak peminjam/pengutang sebagai bentuk
konsekuensi yang telah disepakati. Pembayaran bunga utang luar negeri dalam
APBN dicatat di dalam pos pengeluaran rutin, yaitu pada pos pembayaran bunga
utang atau masuk ke dalam pos pembayaran bunga utang luar negeri. Dimasukkannya
pembayaran bunga utang luar negeri ke dalam pos pengeluaran rutin dikarenakan
untuk menunjukkan besarnya beban anggaran sebagai konsekuensi keputusan
pemerintah mengambil utang luar negeri.
Selain bunga utang luar
negeri, pemerintah diharuskan pula membayarkan sejumlah cicilan pokok utang
luar negeri. Besarnya pembayaran cicilan tersebut disesuaikan dengan
kesepakatan utang antara pemerintah dan pihak yang memberikan utang kepada
pemerintah. Dalam hal ini, utang luar negeri yang telah diterima akan
dibayarkan secara bertahap hingga masa berakhirnya atau masa jatuh tempo utang
luar negeri pemerintah. Karena sifatnya tidak mendesak, maka pencatatannya
ditempatkan pada pos pembiayaan APBN, yaitu pada pos pembiayaan luar negeri dan
pos pembayaran cicilan pokok utang luar negeri (amortisasi).
Lalu berapakah besarnya
total utang luar pemerintah?
Pengelolaan utang luar
negeri pemerintah dilakukan langsung oleh Kementrian Keuangan RI atau
Departemen Keuangan RI. Total utang luar negeri pemerintah tidak dicantumkan
dalam APBN, karena APBN hanya mencatat aliran anggaran yang masuk dan keluar.
Untuk utang luar negeri dikelola secara khusus pada direktorat jenderal
(ditjen) pengelolaan utang negara. Ini berarti pencatatan mengenai besarnya
total utang luar negeri pemerintah Indonesia dapat diketahui melalui situs
Departemen Keuangan (Depkeu) atau dapat pula langsung menuju situs Ditjen
Pengelolaan Utang Negara. Pencatatan utang luar negeri pemerintah dilakukan
pula oleh pihak Bank Indonesia pada pos neraca pembayaran yang dicantumkan
dengan istilah posisi utang luar negeri pemerintah. Angka yang dicantumkan
dinyatakan ke dalam satuan mata uang Dolar. Dalam hal ini, pihak BI mencatat
pula posisi utang luar negeri swasta ke dalam ringkasan neraca pembayaran.
Mengenai Rasio Utang
Luar Negeri
Pemerintah selalu
menggunakan indikator utang yang disebut rasio utang luar negeri terhadap PDB.
Menurut perhitungan rasio tersebut, utang luar negeri pemerintah Indonesia
masih tergolong rendah dibandingkan dengan rasio serupa yang dimiliki Jepang,
Amerika, dan beberapa negara lainnya. Apakah sesungguhnya makna rasio utang
luar negeri terhadap PDB dan apakah ada ukuran rasio utang luar negeri lainnya.
Rasio utang luar negeri
terhadap PDB menunjukkan besarnya total utang luar negeri pemerintah terhadap
besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya. Rasio tersebut
menggambarkan besarnya kewajiban finansial dari pemerintah terhadap besarnya
kapasitas produksi di dalam negeri yang dicatatkan ke dalam PDB. Tidak sedikit
kalangan ekonom yang mengkritik penggunaan rasio utang luar negeri pemerintah terhadap
PDB yang tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari beban keuangan negara.
Aktivitas perekonomian bisa jadi mencerminkan potensi ekonomi bagi pemerintah
untuk dapat membayarkan utang luar negeri. Namun, seberapa besar potensi
ekonomi tersebut dapat diserap tergantung dari pengelolaan dan sistem
penyerapannya ke dalam anggaran negara.
Indikator utang luar
negeri lainnya adalah debt service ratio atau disebut DSR, yaitu rasio
perbandingan besarnya cicilan pokok utang luar negeri plus bunga utang luar
negeri terhadap total cadangan devisa setiap tahunnya. Sebelum tahun 2000,
indikator DSR cukup populer diterapkan sebagai kontrol atas kebijakan utang
luar negeri di mana implikasi dari kebijakan utang luar negeri akan berakibat
beban pada keuangan negara. Masalah yang perlu diperhatikan pada beban keuangan
negara berupa bunga utang luar negeri dan cicilan pokok utang luar negeri
adalah besarnya cadangan devisa. Pembayaran tersebut tentunya akan menggunakan
alat devisa berupa mata uang asing. Besarnya cadangan devisa harus diperhatikan
atau dikontrol pemanfaatannya, agar nantinya dapat pula mencukupi keperluan
impor atas kebutuhan di dalam negeri. Nilai indikator DSR diberikan batasan
sebesar 15% yang dapat ditoleransi di mana di atas 15% dikatakan berada dalam
kondisi waspada.
Selain dua indikator di
atas, terdapat satu indikator yang berhubungan dengan pengelolaan utang oleh
pemerintah, yaitu rasio pembayaran cicilan pokok utang luar negeri terhadap
total penarikan utang luar negeri setiap tahun. Tidak ada ketentuan atas
batasan baku atas angka toleransi atas rasio tersebut. Idealnya dibawah angka
50%, karena jika di atas 100%, maka penarikan utang luar negeri dikatakan sudah
tidak lagi efektif. Jika angka rasio utang tersebut di atas 100%, maka pada APBN
akan ditunjukkan angka yang negatif pada pos pembiayaan APBN, yaitu pada pos
sumber pembiayaan dari luar negeri. Ini berarti, pemerintah dikatakan “tekor”
atau penarikan utang luar negeri hanya digunakan untuk menutupi pembayaran
cicilan pokok utang luar negeri ditambahkan kekurangannya.
Penyebab Utang Luar
Negeri Indonesia
Utang Luar Negeri
merupakan konsekuensi biaya yang harus dibayar sebagai akibat pengelolaan
perekonomian yang compang-camping yang dimulai saat kepemimpinan orde baru dan
ditambah lagi proses pemulihan ekonomi yang tidak komprehensif dan konsisten.
Data Utang Luar Negeri
Indonesia (2001-2009** )
* 2001 : 58,791 miliar
USD
Tambahan Utang (5,51
miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (4,24 miliar USD)
* 2002 : 63,763 miliar
USD
Tambahan Utang (5,65
miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (4,57 miliar USD)
* 2003 : 68,914 miliar
USD
Tambahan Utang (5,22
miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (4.96 miliar USD)
* 2004 : 68,575 miliar
USD
Tambahan Utang (2,60
miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,22 miliar USD)
* 2005 : 63,094 miliar
USD
Tambahan Utang (5,54
miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,63 miliar USD)
* 2006 : 62,02 miliar
USD
Tambahan Utang (3,66
miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,79 miliar USD)
* 2007 : 62,25 miliar
USD
Tambahan Utang (4.01
miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (6,32 miliar USD)
* 2008 : 65,446 miliar
USD
Tambahan Utang (3,89
miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,87 miliar USD)
* 2009*: 65,7 miliar
USD
Tambahan Utang (????),
cicilan utang + bunga (>5 miliar USD)
* 1 USD = Rp 12.000
(asumsi rata-rata) -
** Data Utang Indonesia
per 31 Januari 2009. www.dmo.or.id atau Perkembangan Utang Pemerintah 2001-2009
TIGA KOMPONEN BIAYA
YANG HARUS DIPENUHI PEMERINTAH SEBAGAI PEMINJAM
Biaya di muka (front and fee)
Biaya bunga (interest) yang harus
disesuaikan dengan London Interest Bond and Obligation Rate (LIBOR)
Biaya komitmen (commitment fee) yang harus
dibayarkan jika pemerintah terlambat (sesuai jadwal yang disepakati) melakukan
pencairan pinjaman
Di antara tiga biaya
yang sangat memberatkan itu, biaya front and fee dan commitment fee adalah
biaya-biaya yang tidak tampak atau jelas ke mana alirannya. Biaya front and fee
yang harus dikeluarkan pemerintah atau negara peminjam sebesar 1 persen dari
total pinjaman yang diajukan ini tidak jelas untuk apa ditujukan, sebab segala
hal yang berkaitan dengan urusan pinjam-meminjam telah terdapat biaya
operasionalnya masing-masing. Karena itu, biaya di muka selama Indonesia
terlibat dalam urusan utang luar negeri dengan pihak lender, selain sangat
sulit untuk dilacak dan merugikan negara, bisa jadi telah terjadi “permainan”
antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini dan Bank Dunia. Oleh karena
itu, proyek-proyek yang dibiayai utang semacam ini, sebelum terjadi loan
agreement, telah menguap, dan inilah yang menurut perhitungan ekonomis tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, kaitan antara pinjaman yang diterima
dan tujuan penanggulangan kemiskinan secara nasional menjadi sangat lemah dan
hanya menguntungkan sekelompok orang.
NEOKOLONIALISME, UTANG
LUAR NEGERI, DAN DEFORESTASI
Sejarah negara-negara
utara termasuk Indonesia adalah sejarah kolonialisme, hampir tiga setengah abad
bangsa ini dihisap kekayaan alamnya untuk membesarkan Imperium negara induk.
Setelah fase kolonisasi, tumbuh gerakan kemerdekaan untuk mewujudkan
kemandirian secara politik di negara-negara selatan. Seiring dengan itu terjadi
pula perubahan paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Sebuah
doktrin yang menyakini bahwa pertumbuhan yang terus menerus melalui mekanisme
produksi sebagai sentral dari eksistensi manusia.
Sedangkan di
negara-negara utara karena didorong oleh terjadinya revolusi industri,
mengakibatkan bertambahnya kebutuhan akan sumber daya produksi yang tidak lain
berasal dari negara-negara selatan, kebutuhan akan faktor produksi tersebut
memunculkan ketergantungan. Ketergantungan negara-negara utara akan faktor
produksi harus dibayar mahal oleh negara-negara selatan. Atas nama pertumbuhan
mereka mensubordinasikan alam hanya sebagai faktor pendorong pertumbuhan yang
bisa dieksploitasi berdasarkan kebutuhan manusia tanpa melihat daya tahan
ekologi dan akibat yang timbul dari eksploitasi dan penghisapan tanpa batas.
Penghisapan tersebut
melalui perusahaan multinasional yang berada di balik negara maju. Mereka
menggunakan kekuatan modal dan utang luar negeri sebagai alat untuk melakukan
eksploitasi terhadap kekayaan alam Indonesia. Praktek awal penghisapan
neoliberal terjadi ketika pemerintah orde baru (orba) membuat undang-undang
Penanaman Modal Asing. Lewat produk hukum tersebut pengelolaan sumber daya alam
secara bulat-bulat diserahkan pada kuasa modal asing. Pada tahun 1971 terjadi
kesepakatan antara pemerintah orde baru dengan para penguasa modal
internasional untuk membagi-bagi mineral Indonesia kepada perusahaan asing
seperti Caltex, Frontier, IIAPCO-Sinclair dan Gulf-Western. Empat tahun
sebelumnya, Soeharto terlebih dahulu menyerahkan 1,2 juta hektar tanah di Papua
kepada Freeport McMoran dan Rio Tinto. Aturan fiskal disesuaikan sedemikian
rupa sehingga memungkinkan perusahaan-perusahaan ini mengalirkan pendapatannya
langsung ke pusat-pusat kemakmuran di Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.
Pola eksploitasi yang
terjadi pada masa kolonial kini menemukan bentuk baru meskipun masih menunjukkan
cirinya yang mendasar (conquer, control, and exploit). Seperti yang
didefinisikan oleh Soekarno yang dimaksud ekonomi kolonial adalah sebuah
perekonomian yang memiliki tiga ciri, yaitu: merupakan sumber bahan baku bagi
negara-negara industri, merupakan pasar bagi hasil industri mereka, dan
merupakan tempat berinvestasi bagi modal negara-negara industri tersebut
(Weinsten, 1976:213).
Penjabaran demokrasi
ekonomi, sebagaimana tercermin dalam konstitusi, adalah pertama, keikutsertaan
seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi; kedua, keikutsertaan seluruh
anggota masyarakat dalam menikmati hasil-hasil produksi; dan ketiga,
penyelenggaraan produksi dan pembagian hasil-hasilnya itu harus berlangsung di
bawah pengawasan anggota-anggota masyarakat. Namun cita-cita tersebut harus
terpatahkan karena negara-negara maju tidak menginginkan struktur ekonomi
kolonial tersebut berubah. Lewat globalisasi neoliberal yang didengungkan,
negara maju berusaha untuk mengintegrasikan ekonomi Indonesia dengan kekuatan
modal internasional dengan meliberalisasi dan mengeksploitasi kekayaan alam
yang didesakkan lewat pengucuran utang.
Gagasan tentang utang
dalam praktek neo kolonialisme dipaparkan pertama kali oleh Teresa Hayter.
Berdasarkan penelitian yang dibiayai oleh Bank Dunia di empat negara Amerika
Latin yaitu Colombia, Chile, Brazil dan Peru. Hasil dari studinya tersebut
dibukukan dengan judul “Aid as Imperialims” yang diterbitkan pada tahun 1971.
Dalam bukunya, Hayter menyimpulkan bahwa utang luar negeri bukan transfer
sumber daya yang tanpa syarat namun harus diikuti dengan pembelian barang dan
jasa dari negara pemberi pinjaman, larangan untuk kebijakan ekonomi tertentu
misalnya menasionalisasi perusahaan asing dan permintaan untuk melakukan
kebijakan ekonomi tertentu yang menguntungkan pihak asing.
Tekanan untuk melakukan
kebijakan tertentu yang dilakukan oleh negara atau lembaga kreditor menyebabkan
terjadinya liberalisasi dalam pengelolaan ekonomi. Lewat Structural Adjusment
Program (SAP) yang menyertai setiap transaksi pengucuran utang, negara peminjam
dipaksa untuk menuruti resep generic neoliberal yaitu kebijakan anggaran ketat,
pengurangan subsidi untuk kebutuhan sosial termasuk pertanian, peningkatan
peran pasar dan berorientasi eksport. Sedangkan bertumpuknya utang luar negeri
mengakibatkan terjadinya apa yang disebut fisher paradoxs. Dimana utang baru
digunakan untuk menutupi utang lama.
Dengan beban pembayaran
utang yang terus meningkat maka pemerintah harus mengupayakan peningkatan
pendapatan, salah satunya melalui peningkatan pemenuhan kebutuhan kayu untuk
industri pada tahun 2006 nilai ekspor dari industri kayu minus pulp mencapai
Rp. 29,53 triliun atau 4 persen dari total ekspor Indonesia. Sedangkan
kebutuhan industri terhadap kayu tahun 2006 sudah mencapai 96,19 juta meter
kubik pertahun. Sementara kemampuan hutan alam dan Hutan Tanaman Industri dalam
mensuply kayu hanya mencapai 46,77 juta meter kubik/tahun. Lebih dari 30 juta
meter kubik kayu ditebang secara ilegal di Indonesia pada tahun 2006, belum
termasuk penyelundupan kayu ke Malaysia dan Singapura yang angkanya
diperkirakan mencapai 12 juta meter kubik/tahun.
Belum lagi ditambah
dengan penebangan hutan yang digunakan untuk perkebunan sawit sampai tahun
2006, 20,29 juta hektar hutan telah dilepaskan untuk perkebunan sawit, dari
20,29 juta ha, hanya 6,7 juta ha yang ditanami kelapa sawit. Sisanya
ditinggalkan setelah diambil kayunya. Hingga tahun 2006 laju deforestasi di
Indonesia mencapai 2, 72 juta hektar per tahun.
Kebijakan neoliberal
pemerintah yang mengekstrasi kekayaan alam terutama hutan malah mengakibatkan
kerugian yang sangat besar. Kerugian dari 59 kali bencana banjir dan longsor
pada tahun 2006 mencapai Rp. 8,158 triliun, meliputi korban jiwa 1250 orang,
364 ribu rumah rusak dan 136 ribu area pertanian rusak, sedangkan kayu yang
hilang dari penebangan liar pada tahun 2006 mencapai Rp. 22, 862 triliun.
Kerugian akibat tebangan illegal ditambah banjir dan longsor pada tahun 2006
sebesar Rp. 31,020 triliun setiap tahun membuat defisit devisa negara sebesar
Rp. 1,484 triliun.
Dengan demikian
seharusnya pemerintah tidak menggunakan kebijakan yang mengeksploitasi alam
dalam menyelesaikan permasalahan utang luar negeri. Karena praktek penghisapan
akan tetap terjadi jika utang luar negeri masih membebani anggaran negara. Maka
langkah pertama untuk membebaskan diri dari perangkap neoliberal adalah
mendesak pengurangan utang luar negeri dan menghentikan ekstrasi kekayaan alam
yang disyaratkan oleh negara dan lembaga kreditor. Karena telah terbukti bahwa
pembangunan yang mendewakan pertumbuhan dan mengorbankan lingkungan malah
melanggengkan penghisapan melalui kekuatan modal internasional.
Slot Review: Pragmatic Play - Lucky Club Live
ReplyDeletePragmatic Play is one of the leading providers of premium online casino luckyclub.live content. With over 150 games and exciting features including jackpot and free spins,