MAKALAH
EKONOMI PEMBANGUNAN
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses
kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan
adanya pertambahan penduduk dan disertaidengan perubahan fundamental dalam struktur
ekonomi suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari
pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses
pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi
adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan
dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami
pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya
pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan
ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam
standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan
pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya
pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik.
pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik.
Anda menemukan yang anda cari? jika iya, Bantu kami, KLIK salah satu iklan yang ada di blog ini
1. Tujuan Penulisan
Supaya mahasiswa dapat lebih memahami terhadap
situasi ekonomi yang mana sekarang menjadi topik hangat dan dilema luar biasa
bagi seluruh dunia. Paling tidak mahasiswa dapat memecahkan masalah kecil yang
berhubungan dengan rencana pembangunan di negara kita. Diharapkan pula makalah
ini dapat menjadi acuan belajar dalam mempelajari permasalahan ekonomi.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas maka
penulis mencoba membuat identifikasi permasalahan terhadap penelitian yang
dilakukan oleh penulis sebagai berikut :
1. Apa saja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009?
2. Siap kah Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dalam Persaingan Global?.
1. Apa saja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009?
2. Siap kah Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dalam Persaingan Global?.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009
Reformasi sistem politik di Indonesia baik
yang bersifat kelembagaan maupun perundangan memunculkan model perencanaan dan
kebijakan pembangunan nasional yang baru mengantikan model perencanaan dan
kebijakan lama. Muara dari reformasi ini adalah keinginan untuk melakukan
perbaikan-perbaikan atas kelemahan-kelemahan yang timbul dari praktik
perencanaan pembangunan maupun kebijakan pembangunan yang sebelumnya pernah
diterapkan demi pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat
sebagaimana di amanatkan oleh konstitusi.
Dalam konteks ini, Pemerintah dan DPR
menyepakati pengundangan UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional sebagai landasan bagi proses perumusan program pembangunan
baik dalam jangka panjang, menengah maupun tahunan. Berkaitan dengan program
pembangunan jangka menengah, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 7 tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2004-2009
sebagai pedoman bagi penyusunan rencana kerja tahunan pemerintah.
Secara singkat, model dan alur perencanaan
pembangunan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dalam dijelaskan dalam diagram berikut ini.
Sejalan dengan amandemen UUD 1945 ketiga tahun
2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi memegang kedaulatan negara
tertinggi. Selain itu, MPR juga tidak lagi memiliki kewajiban untuk menetapkan
GBHN.
Dengan berlakunya amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 hingga amandemen keempat, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan
pembangunan, yaitu:
Penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN);
Ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan
Diperkuatnya Otonomi Daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemilihan presiden secara langsung sebagai
hasil perubahan UUD 45 dan ditiadakannya GBHN sebagai pedoman Presiden untuk
menyusun rencana pembangunan serta pemberlakuan UU Nomor 32 tahun 2004, sebagai
amandemen UU Nomor 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah yang memungkinkan
penyelenggaraan otonomi daerah dengan kewenangan yang lebih luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada Daerah menjadi landasan perlunya sistem perencanaan
pembangunan nasional. Pemberian kewenangan yang luas kepada Daerah juga membawa
konsekuensi diperlukannya langkah koordinasi dan pengaturan untuk lebih
mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional,
pembangunan daerah, maupun pembangunan antar daerah. Untuk menjawab
kebutuhan-kebutuhan diatas, pada tanggal 5 Oktober 2004 Pemerintah dengan
persetujuan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Melalui UU
Nomor 25 tahun 2004, bangsa Indonesia memasuki era baru dalam sejarah
pembangunan nasional untuk menjamin kegiatan pembangunan yang berjalan
secara efektif, efisien, dan bersasaran dalam rangka mewujudkan tujuan negara
sebagaimana diamanahkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Masih tingginya laju pertumbuhan dan jumlah
penduduk. Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat,
meskipun laju pertumbuhannya dapat dikendalikan sehingga semakin menurun.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 1990 dan 2000, jumlah penduduk Indonesia
179,4 juta jiwa dan 206,3 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49
persen per tahun pada periode 1990-2000, lebih rendah dari laju pertumbuhan
penduduk periode 1980-1990 (1,97 persen). Meskipun telah terjadi penurunan
pertumbuhan penduduk karena menurunnya angka kelahiran, namun secara absolut
pertambahan penduduk Indonesia masih:akan meningkat sekitar 3 sampai 4 juta
jiwa per tahun. Hal ini disebabkan belum terkendalinya angka kelahiran pada tahun
1970- an, sehingga terjadi peningkatan jumlah penduduk pasangan usia subur yang
relatif lebih cepat dibanding kelompok usia sebelumnya, atau timbulnya momentum
kependudukan.
Masih tingginya tingkat kelahiran penduduk.
Faktor utama yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk adalah tingkat
kelahiran. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1971, angka kelahiran total (Total
Fertility Rate/TFR) diperkirakan 5,6 anak per wanita usia reproduksi, dan saat
ini telah turun lebih 50 persen menjadi 2,6 anak per wanita (Survei Demografl
dan Kesehatan Indonesia-SDKI 2002-2003). Penurunan TFR antara lain karena
meningkatnya penggunaan alat dan obat kontrasepsi (prevalensi) pada pasangan
usia subur pada tahun 1980-an. Pada tahun 1971, angka prevalensi penggunaan
kontrasepsi kurang dari 5 persen, tahun 1980 meningkat menjadi 26 persen, tahun
1987 menjadi 48 persen, tahun 1997 menjadi 57 persen, dan tahun 2002 sebesar 60
persen (SDKI 2002-2003).
2. SDM Indonesia dalam Persaingan Global
Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu
faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang
berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam
persaingan global yang selama ini kita abaikan.
Adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan
kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi
tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan
kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang
penganggur terbuka (open unemployment Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi
yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja
terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan
kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada
sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang
terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak
angka pengangguran sarjana di Indonesia. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih
dari 300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran
sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena penganguran
sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam
menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses
pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga
kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun
dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari
pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal
asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal
dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi
bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya
alokasi APBN untuk sektor pendidikan—tidak lebih dari 12% -- pada peme-rintahan
di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari
pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya
pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang
berkualitas. Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian
dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan
tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base).
Orang tidak bekerja alias pengangguran
merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang
menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum
sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya
dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah
belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu
menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan
dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya
kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan
globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan,
di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin
terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang
sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya
saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan
intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia
dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati
urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah
Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang
akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran
agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah
buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai
ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif.
Pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses
untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk
portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT
Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam
memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola
BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara.
Tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu
memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti
penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki
pengalaman internasional dan\atau buruh diperoleh dari negara berkembang.
Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
Jaringan informasi. Masyarakat suatu negara
dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena
kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain.
Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke
berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh KFC, Hoka Hoka
Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana.
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk
penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif.
Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan
fair. Bahkan, transaksi menjadi semakin cepat karena “less papers/documents”
dalam perdagangan, tetapi dapat mempergunakan jaringan teknologi telekomunikasi
yang semakin canggih.
Dengan kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate)
di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada meningkatnya
ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman
transaksi antarnegara (cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa,
aliran dana internasional (international capital flows), pergerakan tenaga
kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga
secara sederhana dapat dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah
merupakan salah satu kekuatan yang memberikan pengaruh terhadap bangsa,
masyarakat, kehidupan manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate
di Indonesia. Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu
melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan strategi usaha
Masalah daya saing dalam pasar dunia yang
semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa
dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu
negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar
internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar
domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif
(competitive advantage) merupakan faktor yang desisif dalam meningkatkan
kinerja perusahaan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan
membangun keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda
lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi
para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi,
Realitas globalisasi yang demikian membawa
sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan
globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila
didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal
yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan dianggap
sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan
pengetahuan. Pendidikan merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan
ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun pembangunan ekonomi
membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK
maupun sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang
handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga
disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing
dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM
melalui pendidikan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi
dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari
pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan
fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan
ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi pengembangan SDM,
sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan
tidak diimbangi dengan tolok ukur kualitatif pendidikan.
Problem utama dalam pembangunan sumberdaya
manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum
reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana
tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak
konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan
perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi
politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar
yang masih terdistorsi.
Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik
pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya memecahkan
masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan
konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi
SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan belum sanggup menciptakan
pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk
itu. Di sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui pendidikan
terkait dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan pemerintah.
Sementara pada pascareformasi belum ada proses
egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh struktur bangsa yang dapat memperkuat
kemandirian bang sa. Pada era reformasi yang terjadi barulah relatif tercipta
reformasi politik dan belum terjadi reformasi ekonomi yang substansial terutama
dalam memecahkan problem struktural seperti telah diuraikan di atas. Sistem
politik multipartai yang telah terjadi dewasa ini justru menciptakan oligarki
partai untuk mempertahankan kekuasaan.
Dengan demikian, pada era reformasi dewasa
ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan terciptanya
konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu.
Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi
berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah bahwa keterlibatan
Indonesia pada liberalisasi perdagangan model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka
untuk apa? Bukankah harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti
AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan.
Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia
tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat
globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa
dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang
murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah social
ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan
semakin menciptakan ketergantungan kepada negara maju.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan
globalisasi seyogyanya kebijakan link and match mendapat tempat sebagai sebuah
strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun
sayangnya ide link and match yang tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan
tenaga kerja dengan dunia pendidikan belum ditunjang oleh kualitas kurikulum
sekolah yang memadai untuk menciptakan lulusan yang siap pakai. Yang lebih
penting dalam hal ini adalah strategi pembangunan dan industrialisasi secara
makro yang seharusnya berbasis sumberdaya yang dimiliki, yakni kayanya
sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi ini tidak diciptakan maka yang akan
terjadi adalah proses pengulangan kegagalan karena terjebak berkelanjutannya
ketergantungan kepada utang luar negeri, teknologi, dan manajemen asing. Sebab
SDM yang diciptakan dalam kerangka mikro hanya semakin memperkuat proses
ketergantungan tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan
SDA, memiliki posisi wilayah yang strategis (geo strategis), yakni sebagai
negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luas total wilayah; namun tidak
mampu mengembalikan manfaat sumber kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Hal
ini karena strategi pembangunan yang diciptakan tidak membangkitkan local
genuin. Yang terjadi adalah sumber kekayaan alam Indonesia semakin mendalam
dikuasai oleh asing. Sebab meskipun andaikata bangsa ini juga telah mampu
menciptakan SDM yang kualifaid terhadap semua level IPTEK, namun apabila
kebijakan ekonomi yang diciptakan tidak berbasis pada sumberdaya yang dimiliki
(resources base), maka ketergantungan ke luar akan tetap berlanjut dan semakin
dalam.
Oleh karena itu harus ada shifting paradimn,
agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai keahlian yang
bisa mengolah SDA dan bisa semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya
visi tersebut pun terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total
kebijakan pembangunan di tingkat makro dengan berbasiskan kepada pluralitas
daerah. Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan
kebutuhan dan penguatan masyarakat lokal. Karena untuk apa SDM diciptakan kalau
hanya akan menjadi perpanjangan sistem kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan
lokal dan nasional.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor
tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor
nonekonomi.
Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya
manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan.
Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan
kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan,
tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara,
terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan
kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu
yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi).
Sumber daya manusia juga menentukan
keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah
penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil
produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas
yang ada.
Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan
manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi
ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa
barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan
ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas. Faktor
nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik,
dan sistem yang berkembang dan berlaku.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pertumbuhan ekonomi tidak akan berjalan jika
tidak didukung sumber daya manusia yang memadai. Sebaliknya, pembangunan
kualitas sumber daya manusia juga tidak akan tercapai tanpa dukungan
pertumbuhan ekonomi. Demikian pula pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kualitas
sumber daya manusia.
Segitiga pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
sosial, pengendalian pertumbuhan penduduk, serta lingkungan hidup harus
dikelola pemerintah secara bersama-sama dan terintegrasi.
Itulah konsep pembangunan berwawasan
kependudukan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Penduduk
harus ditempatkan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan.
Selama periode 2004-2009, tingkat pertumbuhan
ekonomi yang diharapkan antara 4,5 persen sampai 6,0 persen. Pertumbuhan
ekonomi sebesar itu diperkirakan hanya dapat menyerap angkatan kerja baru
sekitar satu sampai satu setengah juta pekerja saja.
Pada masa lalu, setiap pertumbuhan ekonomi
sebesar 1 persen mampu menyerap sekitar 400.000 pekerja. Namun, pada saat ini
diperkirakan hanya mampu menyerap sebanyak 250.000 sampai 300.000 pekerja baru.
Sementara angkatan kerja baru setiap tahun bertambah 2,5 juta orang. Dengan
jumlah penduduk yang diperkirakan masih bertambah dari 207 juta jiwa pada tahun
2004 menjadi 220 juta jiwa pada tahun 2009, diperkirakan tingkat pengangguran
pada tahun 2009 nanti sekitar 8 persen dari seluruh angkatan kerja yang ada.
BAGUS TAWWA
ReplyDeleteijin baca bro
ReplyDelete